Sabtu, 08 Desember 2012

KEMATIAN MENTALITAS DAN MOMENTUM PEMBEBASAN



*sebuah Refleksi Menyambut Natal 2012
Oleh : Alexander Felix Taufan Parera


Perlahan dan stabil sesuai mekanisme semesta yang dinamis, roda sang waktu yang bergerak dalam perhitungan kalender Masehi dan mengacu pada siklus gerak Matahari  menghantar umat manusia pada sebuah kepastian akan Bulan Desember yang kini di depan mata. Desember telah tiba. Di belahan Bumi wilayah Jepang, bunga-bunga Sakura (cherry blossoms) berbagai jenis semisal someiyoshino telah bermekaran. 
Demikianpun di bumi khatulistiwa ini, tak terkecuali di tanah Flores kelahiran penulis, bunga Desember (haemantus multiflorus) tentunya mulai menampakkan keindahannya. Datangnya Desember telah dinantikan banyak orang; seakan Desember adalah momentum terindah dari deretan waktu dalam setahun. Seperti yang terbersit dalam lirik lagu “My December” yang dipopulerkan band asal Aguora Hills, California,  Linkin Park dengan album debut fenomenalnya, Hybrid Theory . “This is my December, this is my time of the year, this is my December, this is all so clear.”

Desember 2012. Tentunya masih membekas jelas dalam ingatan kita semua tentang berita heboh beberapa waktu lalu tentang ramalan suku Maya; tentang akhir dari peradaban manusia; tentang sebuah jam penghitung waktu mundur yang ditempatkan oleh suku Maya di daerah Tapachula, Meksiko bagian Tenggara. Semuanya bermuara pada satu berita yang menggemparkan, kiamat akan terjadi pada tanggal 21 Desember 2012. Lantas berita itu menjadi begitu fenomenal; menghiasi headline segala media cetak; menjadi trending topic di segala situs social; bahkan menjadi komoditi utama dalam sajian entertainment. Satu jawaban atas pertanyaan “mengapa bisa demikian” adalah karena faktor “akhir dunia” dari isi ramalan yang diberitakan tersebut.

***
Lupakan sejenak tentang suku Maya. Desember juga menjadi sebuah dentang awal dari lantunan panjang dentang Christmas bell yang tak lama lagi akan menghiasi seluruh gereja di dunia. Segenap umat Kristen dan Katolik di seluruh penjuru dunia akan merayakan Natal; tak terkecuali di Nusa Tenggara Timur tercinta. Sebuah perayaan untuk mengenang kembali kisah kelahiran Sang Mesias yang diyakini oleh kaum Krsitiani adalah Sang Juru Selamat. Sebuah bagian dari tradisi; tradisi yang tetap terjaga hingga abad ini.
Di bulan Desember ini, mayoritas masyrakat NTT akan merayakan perayaan Natal. Tapi juga dalam mortalitas kemanusiaannya, sebagai manusia juga tetap perlu mawas diri bahwa kematian itu juga merupakan sebuah realitas. Tentunya terlepas dari ramalan akhir dunia yang masih misterius; bahwa kelak tanggal 21 nanti semua kita mati massal; semuanya masih misteri, meski terkesan lucu dan takhayul. Tapi tidak ada salahnya kita mengintrospeksi diri. Bertanya dalam refleksi batin kita, “mengapa isu Kiamat tersebut jatuh di bulan yang bertepatan dengan lahirnya Sang Putera Ilahi?”. Di sini, terdapat 2 realitas yang kontradiktif; sebuah Kelahiran dan Kematian.
Adakah hubungan antara kelahiran dan kematian?.  Jelas ada hubungannya. Keduanya menjadi pintu gerbang yang jelas-jelas terhubung oleh sebuah penghubung yang bernama “kehidupan”. Intinya, kematian itu ada sebagai bentuk pernyataan bagi suatu kondisi ketika tidak ada lagi kehidupan; seperti yang dipikirkan Albert Einstein ketika ia harus berpendapat tentang terang dan gelap; yang menurutnya, gelap adalah sebuah kondisi ketakberadaannya terang atau cahaya. Namun di sini kita tidak berbicara mengenai hal ihkwal kematian dan kehidupan yang secara sintaksis lebih dekat maknanya tentang kematian dan kehidupan badaniah.
Dalam refleksi penulis, sempat terbersit sebuah pemahaman tentang arti dari kesamaan momentum ramalan suku Maya dan tradisi suci gereja Katolik Roma. Terlepas dari realitas yang bakal terjadi, di sini kita membahasnya dalam konsep pemikiran dunia modern. Lupakan segala takhayul yang ada dan andaikata ramalan suku Maya ataupun Nostradamus sekalipun bahwa Desember ini adalah akhir, penulis tidak pernah cemas ataupun khawatir. Sekedar mengajak para pembaca sekalian, bahwa nikmati saja proses yang ada; goal akhir dari kehidupan ini pasti kan membahagiakan apabila proses dalam segala detik hidup ini diisi dengan kontribusi entah secara konsepsi/pikiran maupun tindakan yang memancarkan aura positif. Dalam Desember ini, penulis hendak mengajak segenap pembaca sekalian untuk mati massal dan lahir kembali (reborn) sebagai manusia baru. Ingat kembali kisah kelahiran Yesus 2000an tahun silam; sebuah kelahiran yang hemat penulis, adalah kelahiran ‘yang mematikan’. Mematikan yang secara biblis historis seperti dikisahkan dalam injil, tentang titah Herodes untuk membunuh semua anak laki-laki yang baru lahir pasca kelahiran Yesus. Secara simbolis pun hendaknya kelahiran Yesus di Desember ini membawa ‘kematian’ bagi semua kita. Kematian dalam ranah pemikiran simbolis dari sebuah rekonsiliasi. Mati dari mentalitas malas; mati dari jiwa alcoholic yang melahirkan “sarjana botol” dari setiap konferensi lingkar sopi yang hampir tiap hari terlaksana di pinggiran jalan; mati dari dengki dan iri hati lantas menerkam sesamanya bak serigala lapar (“Homo Homini Lupus”). Mari kita mematikan semua itu; melihat kematian sebagai proses “pembebasan” untuk kehidupan setelahnya. Sebuah absolusi bagi jiwa yang tersesat dan enggan kembali pada kebebasan yang terkontrol. Semua kita adalah mahkluk yang bebas. Ingat sebuah statement tegas dari revolusioner Kuba, Ernesto Che Guevara dalam salah satu pidatonya di Meksiko pada tahun 1958. “ I am not a liberator. Liberators do not exist. The people liberate themselves.”
Mari kita jadikan Natal di Desember  ini menjadi momentum ‘kematian’ bagi segala yang buruk dari kita, dan ‘lahir’ kembali sebagai manusia baru yang terbebaskan dari belenggu penghancur masa depan bangsa.  Terlahir dengan visi dan arah hidup yang jelas; menjadi bagian dari pembangunan NTT tercinta, bukan sebaliknya menjadi katalisator mempercepat kehancurannya. Selamat menanti Natal.

*penulis adalah seorang ex-seminaris yang telah menamatkan pendidikannya di Akademi Meteorologi Geofisika dan kini mengabdi sebagai geosaintis di BMKG.

Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;