Jumat, 29 Januari 2016 0 komentar

FILOSOFI HIDUP KAYU MATI




Suatu siang menjelang senja  kala menepi ke bibir Samudera Hindia. Terik panas sedang klimaks di lepas pukul lima belas.

Biru selayang pandang, tiada kawanan Camar terbang sejauh mata  ke kaki Horizon. Entah, tapi pantai ini jarang dicumbui kawanan burung Camar.

Gulungan ombak berlomba-lomba menggapai bibir pantai. Pasir putih kotor membentang. Banyak sampah menodai kemilau beribu butir pasir yang seharusnya berkilau saat dipermainkan berkas sinar Surya.

Dan, di suatu perhentian, tergolek sebatang kayu tua. Mati. Entah darimana asalnya, yang jelas, dia dilahirkan juga dari Rahim Ibu Bumi. Jelas, dia kuat. Tapi kini dia mati. Tak lebih dari sebatang kayu tua, yang entah nanti kan jadi kayu bakar atau dibiarkan terkikis habis, yang jelas dia kan kembali menyatu dengan rahim Ibu Bumi. Di saat yang sama, Ibu Bumi melahirkan lagi kayu baru, dan kehidupan baru pun berlanjut.

Kehidupan telah memilihnya. Demikianpun kematian setia menantinya. Dia bahagia kala musim penghujan, dia menderita kala harus menahan lapar saat kemarau. Dia menjalani setiap detik Hidupnya, dan pastinya dia tetap berjuang untuk bertahan hidup dengan mekanisme kerja keras Akar.
Hingga tiba momentum perpisahan dengan Hidup. Telah habis waktunya. Dan dia kembali ke Rahim Ibu Bumi. Entah suatu ketika dia kan lahir kembali. Biarlah reinkarnasinya menjadi Rahasia Ibu Bumi.
Sampaikan salamku untuk Sang Arsitek Kehidupan, wahai Kayu Mati.
Sampai jumpa; seribu tahun nanti. KPH.JAN.2016
 
;