*sebuah Refleksi
Menyambut Natal 2012
Oleh : Alexander
Felix Taufan Parera
Perlahan
dan stabil sesuai mekanisme semesta yang dinamis, roda sang waktu yang bergerak
dalam perhitungan kalender Masehi dan mengacu pada siklus gerak Matahari menghantar umat manusia pada sebuah kepastian
akan Bulan Desember yang kini di depan mata. Desember telah tiba. Di belahan
Bumi wilayah Jepang, bunga-bunga Sakura
(cherry blossoms) berbagai jenis semisal someiyoshino telah bermekaran.
Demikianpun di bumi khatulistiwa
ini, tak terkecuali di tanah Flores kelahiran penulis, bunga Desember (haemantus multiflorus) tentunya mulai
menampakkan keindahannya. Datangnya Desember telah dinantikan banyak orang;
seakan Desember adalah momentum terindah dari deretan waktu dalam setahun.
Seperti yang terbersit dalam lirik lagu “My
December” yang dipopulerkan band asal Aguora Hills, California, Linkin
Park dengan album debut fenomenalnya, Hybrid Theory . “This is my December, this is my time of the year, this is my December,
this is all so clear.”
Desember
2012. Tentunya masih membekas jelas dalam ingatan kita semua tentang berita
heboh beberapa waktu lalu tentang ramalan suku Maya; tentang akhir dari
peradaban manusia; tentang sebuah jam penghitung waktu mundur yang ditempatkan
oleh suku Maya di daerah Tapachula, Meksiko bagian Tenggara. Semuanya bermuara
pada satu berita yang menggemparkan, kiamat akan terjadi pada tanggal 21
Desember 2012. Lantas berita itu menjadi begitu fenomenal; menghiasi headline segala media cetak; menjadi trending topic di segala situs social;
bahkan menjadi komoditi utama dalam sajian entertainment.
Satu jawaban atas pertanyaan “mengapa bisa demikian” adalah karena faktor
“akhir dunia” dari isi ramalan yang diberitakan tersebut.
***
Lupakan
sejenak tentang suku Maya. Desember juga menjadi sebuah dentang awal dari
lantunan panjang dentang Christmas bell
yang tak lama lagi akan menghiasi seluruh gereja di dunia. Segenap umat Kristen
dan Katolik di seluruh penjuru dunia akan merayakan Natal; tak terkecuali di
Nusa Tenggara Timur tercinta. Sebuah perayaan untuk mengenang kembali kisah
kelahiran Sang Mesias yang diyakini oleh kaum Krsitiani adalah Sang Juru
Selamat. Sebuah bagian dari tradisi; tradisi yang tetap terjaga hingga abad
ini.
Di
bulan Desember ini, mayoritas masyrakat NTT akan merayakan perayaan Natal. Tapi
juga dalam mortalitas kemanusiaannya, sebagai manusia juga tetap perlu mawas
diri bahwa kematian itu juga merupakan sebuah realitas. Tentunya terlepas dari
ramalan akhir dunia yang masih misterius; bahwa kelak tanggal 21 nanti semua
kita mati massal; semuanya masih misteri, meski terkesan lucu dan takhayul.
Tapi tidak ada salahnya kita mengintrospeksi diri. Bertanya dalam refleksi
batin kita, “mengapa isu Kiamat tersebut jatuh di bulan yang bertepatan dengan
lahirnya Sang Putera Ilahi?”. Di sini, terdapat 2 realitas yang kontradiktif;
sebuah Kelahiran dan Kematian.
Adakah
hubungan antara kelahiran dan kematian?. Jelas ada hubungannya. Keduanya menjadi pintu
gerbang yang jelas-jelas terhubung oleh sebuah penghubung yang bernama
“kehidupan”. Intinya, kematian itu ada sebagai bentuk pernyataan bagi suatu
kondisi ketika tidak ada lagi kehidupan; seperti yang dipikirkan Albert Einstein ketika ia harus
berpendapat tentang terang dan gelap; yang menurutnya, gelap adalah sebuah
kondisi ketakberadaannya terang atau cahaya. Namun di sini kita tidak berbicara
mengenai hal ihkwal kematian dan kehidupan yang secara sintaksis lebih dekat
maknanya tentang kematian dan kehidupan badaniah.
Dalam
refleksi penulis, sempat terbersit sebuah pemahaman tentang arti dari kesamaan
momentum ramalan suku Maya dan tradisi suci gereja Katolik Roma. Terlepas dari
realitas yang bakal terjadi, di sini kita membahasnya dalam konsep pemikiran
dunia modern. Lupakan segala takhayul yang ada dan andaikata ramalan suku Maya
ataupun Nostradamus sekalipun bahwa Desember ini adalah akhir, penulis tidak
pernah cemas ataupun khawatir. Sekedar mengajak para pembaca sekalian, bahwa
nikmati saja proses yang ada; goal
akhir dari kehidupan ini pasti kan membahagiakan apabila proses dalam segala
detik hidup ini diisi dengan kontribusi entah secara konsepsi/pikiran maupun
tindakan yang memancarkan aura positif. Dalam Desember ini, penulis hendak
mengajak segenap pembaca sekalian untuk mati massal dan lahir kembali (reborn) sebagai manusia baru. Ingat
kembali kisah kelahiran Yesus 2000an tahun silam; sebuah kelahiran yang hemat
penulis, adalah kelahiran ‘yang mematikan’. Mematikan yang secara biblis
historis seperti dikisahkan dalam injil, tentang titah Herodes untuk membunuh
semua anak laki-laki yang baru lahir pasca kelahiran Yesus. Secara simbolis pun
hendaknya kelahiran Yesus di Desember ini membawa ‘kematian’ bagi semua kita. Kematian
dalam ranah pemikiran simbolis dari sebuah rekonsiliasi. Mati dari mentalitas
malas; mati dari jiwa alcoholic yang
melahirkan “sarjana botol” dari setiap konferensi lingkar sopi yang hampir tiap
hari terlaksana di pinggiran jalan; mati dari dengki dan iri hati lantas
menerkam sesamanya bak serigala lapar (“Homo
Homini Lupus”). Mari kita mematikan semua itu; melihat kematian sebagai
proses “pembebasan” untuk kehidupan setelahnya. Sebuah absolusi bagi jiwa yang
tersesat dan enggan kembali pada kebebasan yang terkontrol. Semua kita adalah
mahkluk yang bebas. Ingat sebuah statement
tegas dari revolusioner Kuba, Ernesto Che
Guevara dalam salah satu pidatonya di Meksiko pada tahun 1958. “ I am not a liberator. Liberators do not
exist. The people liberate themselves.”
Mari
kita jadikan Natal di Desember ini menjadi
momentum ‘kematian’ bagi segala yang buruk dari kita, dan ‘lahir’ kembali sebagai
manusia baru yang terbebaskan dari belenggu penghancur masa depan bangsa. Terlahir dengan visi dan arah hidup yang
jelas; menjadi bagian dari pembangunan NTT tercinta, bukan sebaliknya menjadi
katalisator mempercepat kehancurannya. Selamat menanti Natal.
*penulis
adalah seorang ex-seminaris yang telah menamatkan pendidikannya di Akademi
Meteorologi Geofisika dan kini mengabdi sebagai geosaintis di BMKG.
0 komentar:
Posting Komentar