“…this is my December.
This is my time of the year.
This is my December.
This is all so clear…..”
Lantunan suara khas Chester
Bennington terdengar begitu merdu dengan epistomologi keseluruhan lirik
yang begitu menyentuh; sungguh berkesan dan semakin terasa dalam ketika lagu
tersebut didengar di awal-awal bulan Desember ini. Lagu bertitel “My December” tersebut dipopulerkan oleh
band pop-rock dari Aguora Hills,
California, yang terkenal dengan nama Linkin
Park. Sebuah band yang mulai meroket ketika album pertamanya, “Hybrid Theory” mulai dirilis pada 12
tahun silam.
“This is my December; this
is my time of the year.” Sebuah ungkapan sebagai
suatu bentuk pernyataan hati yang cukup mewakili sekian banyak kesan manusia
terhadap bulan Desember. Desember begitu dinantikan; seakan waktu yang paling
ditunggu dalam setahun adalah Desember itu sendiri. Desember telah tiba. Dan
Bumi pun nampak tersenyum menyambut datangnya bulan di penghujung tahun ini. Di
belahan Bumi di wilayah Jepang, bunga-bunga Sakura
(cherry blossoms) berbagai jenis semisal someiyoshino telah bermekaran. Demikianpun di bumi khatulistiwa
ini, tak terkecuali di tanah Flores kelahiran saya, bunga Desember (haemantus multiflorus) tentunya telah mulai
menampakkan keindahannya.
Desember begitu special.
Namun, ada kah yang lebih spesial, lebih identik dan khas tentang Desember itu
sendiri?.
Bagi kaum Kristiani dan Nasrani, sudah tentu jawabannya
NATAL. Sebuah bagian dari tradisi Gereja Katholik Roma yang masih terpelihara
hingga saat ini. Sebuah perayaan akan hari lahirnya Sang Juru Selamat di
Betlehem, 2000 tahun silam. Christmas;
a Mass of Christ; sebuah perayaan
akan hari lahirnya Tuhan Yesus Kristus. Sebuah tradisi yang telah menjadi
bagian dari iman umat. Lantas, saya mencoba memperdalam khasanah saya tentang
perayaan Natal dengan menjelajah dunia maya, mecoba googling dan searching dari berbagai referensi yang setidaknya bisa
memberikan saya jawaban yang tepat dan benar sesuai sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Entah dari doktrin apa ataukah dari ensiklopedi mana,
saya mencoba menelusurinya. Hingga pada satu titik, kemanusiaan saya mulai
mendominasi pola pikir saya; dan ini dimanfaatkan iblis untuk menyulut api
kebencian; ketika referensi yang saya temukan memang mengupas tentang asal-usul
perayaan Natal; tapi mayoritas ditulis oleh penulis yang sungguh sangat tidak
berkompeten; dengan bahasa dan penalarannya yang dangkal, mencoba memberikan
kesan negatif bahkan seakan ‘menelanjangi’ ke-khatolik-an umat Katholik itu
sendiri. Misalnya, dalam sebuah tulisan berjudul “ The Plain Truth About Christmas”
yang ditulis asli dalam bahasa Inggris oleh Herbert W. Armstrong dan
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Masyhud SM. dengan judul saduran : “Misteri Natal”. Pada pembahasan tentang
asal-usul perayaan Natal, beliau menulis demikian :
“Christmas was not among the
earliest festivals of Church … the
first evidence of the feast is from Egypt.
Pagan customs centering
around the January calends gravitated
to christmas.”
Bagaimana mungkin, si Herbert menjustifikasi kita yang
merayakan Natal adalah bagian dari penyembahan berhala atau paganism. Sungguh sebuah pernyataan yang
memancing kontroversi. Namun sejurus kemudian, saya mulai memahami bahwa memang
dahulunya tubuh mistik Gerja Katholik pernah tenggelam dalam lumpur Dosa;
pernah berjalan dalam kegelapan Dosa.Lihat kembali dokumen-dokumen tua tentang
sejarah Gereja Khatolik, tentang kekelaman yang pernah mengerubungi perjalanan
sejarah kekhatolikan Romawi. Berawal sekitar tahun 1000 M, dengan penganiyaan
terhadap kelompok Waldens. Ataupun pada abad pertengahan, ketika Gereja
Khatolik Romawi terkenal dengan proses inkuisisi yang begitu kejam dan tanpa
kasih sedikitpun. Kaum “heretics”
(kaum yang menyimpang dari doktrin resmi Gereja) diburu dan dikejar kemudian
disiksa dengan siksaan yang mengerikan.
Kembali
pada reaksi emosional saya ketika pertama kali membaca tulisan yang mencemooh
Gereja Khatolik; saya lebih open-minded
terhadap semua pembebeberan isi tulisan tersebut. Apapun yang tertulis, seakurat
apapun sumbernya, saya bisa memaklumi jikademikian ada semacam lumpur kotor dalam Gereja
Khatolik; lumpur yang dahulu pernah mengotori dan sejak sekian lama telah
dibersihkan dan disucikan oleh Darah Yang Kudus. Reaksi emosional saya tersebut
mungkin jua sama dengan beberapa rekan yang mungkin pernah menonton sebuah film
zaman dahulu dengan judul Goya’s Ghost.
Sebuah film yang disutradarai oleh Milos
Forman dan diproduseri oleh Saul
Zaentz; 2 nama beken dalam dunia perfilman. Film tersebut diangkat dari
catatan seorang pelukis Spanyol, Fransisco
Goya, tentang kisahnya dalam usah penyelamatannya akan seorang gadis yang
menjadi model lukisannya, yang dikejar oleh Gereja Khatolik dan akan dijatuhi
hukuman inkuisisi. Dalam film tersebut, dibeberkan segala kejahatan dan
kekejian yang dilakukan oleh rohaniwan Gereja; dan Gereja yang seakan menjadi
penguasa tunggal dengan kezalimannya. Pembaca sekalian yang pernah menontonnya
atau mendengar kisahnya juga pasti tak terima dengan pengeksposisian kejahatan
dengan background agama tersebut;
tapi demikianlah yang terjadi “pada masa
itu”. Saya memberik tanda kutip pada tulisan “pada masa itu” dengan maksud
penekanan yang lebih pada masa atau waktu; dan semua kezaliman itu telah lenyap
terkubur masa. “Acta est fabula!” ,
semua yang terjadi itu adalah kisah.
Gereja Khatolik yang saya kenal adalah Gereja yang
melandaskan imannya pada Teladan Hidup Sang Ilahi. Pada segala ajaran dan
teladan dari Tuhan kita Yesus Kristus. Semua yang tertulis pada Alkitab adalah
benar demikian; dan untuk menguji kebenaran dari semua itu, kita tidak harus
berpaling pada lembaran sejarah yang “mungkin” telah banyak dimanipulasi karena
kepentingan tertentu. Cara pribadi saya adalah dengan langsung berdiskusi
dengan Sang Creator Kehidupan ini. Masuk ke dalam keheningan, dan leburkan diri
dalam pembicaraan sacral dengannya. Bukannya mengada-ada, tapi ini benar
pengalaman hidup saya. Saya dididik sejak lahir hingga dewasa dalam tradisi dan
ajaran Khatolik yang begitu kental. Teringat dulu zaman SD, saya sering
kehilangan barang dan saya berdoa pada Santo Antonius, dan tak lebih dari
sehari, saya menemukan kembali yang hilang tersebut. Saya pun diajarkan untuk
membuat tanda salib sebelum berangkat ke sekolah agar saya tidak mengalami
muzibah hari itu. Dan bukan sekedar omong kosong, hampir selama 6 tahun masa SD
saya, saya tak pernah mengalami muzibah sehari pun. Ajaib. Sungguh perlindungan
Ilahi yang Maha Dahsyat.
Itulah mengapa, Tradisi iman Khatolik mengakar kuat dalam
diri saya. Saya telah sampai pada level “iman”, tidak hanya sekedar level
“benar/salah” yang banyak orang malah masih membuang waktu hidupnya hanya untuk
mencari-cari kebenaran agama/keyakinannya dan mencari kesalahan dari keyakinan
orang lain. Sungguh miris dan memilukan.
Natal sudah di depan mata. Mari kita memantapkan hati dan
batin kita untuk menyambut kelahrian Sang Putera; pemberian dari Bapa bagi kita
anak-anak-Nya. Mari kita merayakan Natal dengan Iman, bukan dengan pertimbangan
benar-salah atau malah terpengaruh bisikan “manusia lain” yang tidak pernah
mengakhiri usahanya untuk menyebarkan benih ilalang di lading gandum
ke-khatolik-an kita.
Salam Damai Natal.
0 komentar:
Posting Komentar