Suatu siang menjelang senja kala menepi ke bibir Samudera Hindia. Terik
panas sedang klimaks di lepas pukul lima belas.
Biru selayang pandang, tiada
kawanan Camar terbang sejauh mata ke
kaki Horizon. Entah, tapi pantai ini jarang dicumbui kawanan burung Camar.
Gulungan ombak berlomba-lomba
menggapai bibir pantai. Pasir putih kotor membentang. Banyak sampah menodai
kemilau beribu butir pasir yang seharusnya berkilau saat dipermainkan berkas
sinar Surya.
Dan, di suatu perhentian,
tergolek sebatang kayu tua. Mati. Entah darimana asalnya, yang jelas, dia
dilahirkan juga dari Rahim Ibu Bumi. Jelas, dia kuat. Tapi kini dia mati. Tak
lebih dari sebatang kayu tua, yang entah nanti kan jadi kayu bakar atau
dibiarkan terkikis habis, yang jelas dia kan kembali menyatu dengan rahim Ibu
Bumi. Di saat yang sama, Ibu Bumi melahirkan lagi kayu baru, dan kehidupan baru
pun berlanjut.
Kehidupan telah memilihnya.
Demikianpun kematian setia menantinya. Dia bahagia kala musim penghujan, dia
menderita kala harus menahan lapar saat kemarau. Dia menjalani setiap detik
Hidupnya, dan pastinya dia tetap berjuang untuk bertahan hidup dengan mekanisme
kerja keras Akar.
Hingga tiba momentum perpisahan
dengan Hidup. Telah habis waktunya. Dan dia kembali ke Rahim Ibu Bumi. Entah
suatu ketika dia kan lahir kembali. Biarlah reinkarnasinya menjadi Rahasia Ibu
Bumi.
Sampaikan salamku untuk Sang Arsitek Kehidupan, wahai Kayu Mati.
Sampaikan salamku untuk Sang Arsitek Kehidupan, wahai Kayu Mati.
Sampai jumpa; seribu tahun nanti.
KPH.JAN.2016
0 komentar:
Posting Komentar